tag:blogger.com,1999:blog-5866752326832287862024-03-12T20:01:07.621-07:00Cerita Kisahbhttp://www.blogger.com/profile/12195521207586191206noreply@blogger.comBlogger10125tag:blogger.com,1999:blog-586675232683228786.post-78960853773717706302021-01-24T23:57:00.003-08:002021-01-24T23:57:36.050-08:00Menanggapi Tulisan Tentang Sindikat Scammer<p> Membaca tulisan Mba Mutia tentang bagaimana cerita nyata sesama kaum kita ditipu oleh para pria asing, tulisan tersebut merupakan ilmu untuk kita bagi para perempuan agar lebih bijak dan berhati-hati. Tetapi di sini saya tidak akan membahas atau memberi tanggapan bagaimana dulu proses saya bisa berkenalan dan mendapatkan pria asing berkualitas. Bukan itu.<br />Yang ingin saya tanggapi adalah komentator yang menghujat orangtua dari korban yang bernama Ginuk. Sesaat kita fokuskan kepada orangtua. Dimana banyak komentar pedas dan bullyan kepada orangtua korban. Dari semua komentar yang saya baca hampir keseluruhannya menyalahkan orangtua Ginuk. Menyudutkan orangtua yang memberikan ijin kepada anaknya Ginuk untuk pergi berlibur ke Bali bersama dengan bukan mahromnya.<br />Baik, kenapa kita selalu terbiasa melihat sisi suatu masalah hanya karena bukan dari kalangan kita? As we know ( <br />seperti yang kita tahu budaya hidup bule menganut paham liberalisme dan freedom ) mereka bebas melakukan hubungan s**s di luar nikah, bahkan mereka bebas menentukan apa mereka ingin menikah atau tidak tetapi memiliki anak. Pasangan tanpa pernikahan, dimana anak-anak tersebut sah sebagai anak pasangan orangtua yang tidak menikah tersebut.<br />Jadi, kita memahami itu merupakan gaya hidup orang barat, kita orang timur yang kental akan adab, dan agama sangat bertolak belakang bukan? Namun untuk para komentator yang menghujat orangtua Ginuk, ada satu yang ingin saya sampaikan. Bahwa gaya hidup yang saya tuliskan di atas sudah merupakan bagian gaya hidup anak-anak Indonesia saat ini, anak-anak kita. Kepada kita yang menghujat oragtua Ginuk dasar kita menghujat hanya karena Ginuk bersama Dave belum menikah masih sebatas berpacaran lalu diijinkan oleh orangtua pergi berlibur berdua. Duhai para ibu, ayah ( saya juga seorang ibu ) berapa banyak anak muda sekarang bahkan di bawah umur sudah berpacaran dengan gaya pasangan suami istri termasuk hal-hal yang hanya boleh dilakukan oleh pasangan suami istri sah.<br /><br />Ini bukan lagi soal Ginuk yang naif, bukan lagi soa orangtua Ginuk yang bodoh yang memperbolehkan anak perempuannya pergi berdua bersama dengan bukan mahromnya. Tetapi ini tentang 'kita' bisakah kita melihat hal yang yang terjadi dengan Ginuk kepada anak muda pribumi yang belum halal tetapi sudah pergi berlibur berduaan. Apa kita sudah mencoba mengingatkan tetangga, saudara, teman bahkan mengingatkan diri kita sendiri sebagai orangtua bahwa dalam Islam tidak ada pacaran? Atau menegur mereka yang sudah menjadi orangtua agar tidak membiarkan anak gadisnya pergi berduaan? Atau menegur anak gadis kita? Anak lelaki kita? Untuk tidak mendekati zina?<br />Saya bukan orang yang suci, bukan. Tetapi tulisan mba Mutia bukan hanya membuka memoar wanita-wanita yang tertipu oleh para pria yang mereka kira baik. Penipu, penzinah, pengeretan bukan hanya saja milik orang-orang luar, tetapi pribumipun sama dan ada. <br /><br />Buat saya, tulisan Mba Mutia membuka wajah baru dari para komentar. Wajah baru untuk kita sebagai orangtua untuk lebih baik lagi, bukan hanya kepada anak sendiri, tetapi ke anak-anak lain. Kita juga orangtua seperti orangtua Ginuk yang dengan segala keterbatasan dan kekurangan sebagai manusia pasti akan melakukan kesalahan. Termasuk kita, karena tidak ada manusia yang tidak pernah melakukan kesalahan.<br />Yuk, berhenti menghakimi orangtua Ginuk atau orangtua-orangtua lainnya. Berhenti membully Ginuk dengan kenaifannya. Terkadang ada beberapa manusia harus merasakan terporsok dahulu agar bisa sadar, atau yang lebih buruk 'Eye for Eye' manusia yang seperti ini baru bisa sadar ketika dia merasakan kejadian buruk kepadanya seperti kejadian kepada orang lain lalu dia membullynya. Mata untuk mata, tangan untuk tangan, air mata untuk air mata, darah untuk darah. Semoga kita terhindar dari itu semua.<br /><br />Teruntuk kalian yang mencari cinta atau pasangan dalam atau luar negeri. Tetap berhati-hati, masing-masing ada resikonya. Menikah itu pilihan, dan pilihan ingin menikah dengan pribumi dan non pribumi adalah pilihan tiap-tiap orang.<br />Oh teruntuk kalian yang sedang dekat dengan pria asing, tidak ada salahnya kalian bertanya nama lengkap pasangan dan melakukan internet search. Karena biasanya untuk beberapa negara akan ada tree family seperti organization chart keluarga nama bapak, ibu, adik, nama pasangan kalian. Jika kalian memilih nama pasangan kalian akan keluar beberapa informasi, seperti alamat, no telepon bahkan pasangan (jika sudah memiliki pasangan)</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-586675232683228786.post-15311455872037379582021-01-24T23:52:00.002-08:002021-01-24T23:52:26.006-08:00Hilangnya benjolan di Leher<p> "Bunda... Bunda... ini apa?" anakku Arva yang baru berusia 7 tahun memberi tahu benjolannya di leher.<br />"Astagfirullah. Ini kelenjar. Sakit ga bang?" tanyaku. Aku memanggilnya abang karna dia memiliki adik dua orang.<br />"Sakit kalau dipegang." <br />"Ya Allah. Sabar ya sayang nanti kita periksa ke dokter." <br />"Iya bunda."<br />*****<br /><br />Keesoknya aku langsung ke puskesmas karena kalau langsung ke rumah sakit harus ada rujukan dari puskesmas faskes 1, karena aku memakai BPJS kesehatan.<br />Saat tiba di puskesmas dokter tidak memberi rujukan karena saat itu dalam keadaan baru adanya covid bahkan dokter pun enggan untuk pegang benjolannya. Aku hanya dikasih obat untuk 3 hari kedepan.<br />Anakku rutin minum obat tapi benjolannya masih saja tampak bahkan lebih besar. Ya Allah rasanya aku sudah down karena aku pun pernah pengalami operasi FAM (Benjol didada). Walau biaya operasi akan di tanggung BPJS tapi aku kasihan anak sekecil itu harus mengalami yang namanya operasi.<br />Aku tak henti-henti mencari informasi tentang penyakitnya, melalui pengalaman orang, google, chat dokter via aplikasi dan youtube untuk mencari info obat herbal.<br />Semua sudah dilakukan dari mulai kasih vitamin, istirahat yang cukup hingga akhirnya Allah bukakan jalan dengan aku mendengar salah satu ceramah Ustad Dhan* yang biasa memberitahu sebab adanya penyakit disalah satu stasiun televisi. Salah satunya penyakit benjolan ini diakibatkan anak menahan kesal kepada orang tua atau sebaliknya.<br />Aku langsung intropeksi diri, ternyata benar akhir-akhir ini aku selalu memarahinya walau dia melakukan salah yang remeh sakalipun karna aku terlalu sibuk dengan mengurus adiknya dua yang batita.<br />Hingga pada suatu malam aku bertanya ke Arva.<br />"Abang. Pernah kesal ga sama bunda."<br />"Iya. Abang sering diomelin. Abang pernah kesal sama bunda."<br />Aku tertunduk dan butiran bening mengalir berlomba di pipiku.<br />"Maafin bunda ya abang." Aku memeluknya<br />"Maafin abang juga bunda. Abang sayang bunda." <br />Aku mengecup ujung rambutnya.<br />*****<br /><br />Sepertiga malam aku berdoa untuk kesembuhan anakku. Aku meminta maaf atas kelalaianku mengurus anakku.<br />Setiap hari selalu aku cek tapi belum sembuh juga. Bahkan setiap malam aku selalu elus benjolannya tapi masih berasa besar. Aku sudah membayangkan meja operasi.<br />Hari ke 7 setelah kejadian malam itu, saat sore hari dia berlari dari halaman ke dapur sambil berteriak.<br />"Bunda... Bunda..."<br />"Iya kenapa?"<br />"Bunda. Benjolannya udah kecil." <br />Aku langsung periksa benjolannya dan benar benjolannya mengecil bahkan sangat kecil. Ya Allah sujud syukur aku dengan keadaan ini. Akhirnya apa yang aku takuti tidak terjadi yaitu operasi.<br />Semoga senantiasa kita diberi kesehatan karena kesehatan adalah salah satu rezeki yang sering dilupakan.<br />210 Comments<br /><br /></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-586675232683228786.post-40045032490720810092021-01-24T23:47:00.004-08:002021-01-24T23:47:54.165-08:00Curhatan Anakku<p> Disaat aku sedang rebahan di kasur, tetiba anak perempuanku muncul didepanku. Aku hanya memandanginya dengan tatapan penuh tanya. Dia duduk bersimpuh menunduk, wajahnya memerah, seperti sedang ketakutan. Aku biarkan saja dirinya, nanti pasti dia akan cerita sendiri. Maklum anakku ini cerewetnya masyaalloh.<br />Kutunggu lama tetap saja dia hanya diam, kutinggal kedepan saja untuk mengobrol dengan suami. Setelah kucoba balik lagi ke kamar, kulihat anakku sudah tidur nungging. Tak lama dia pun terbangun, spontan saja aku bilang padanya, "Idih bentar doang boboknya, bobok lagi gih masih malem nih" sembari kuelus-elus kepalanya biar dia bobok lagi.<br /><br /><br />Dan pada akhirnya dia cerita juga, meski ragu. Dia menatapku tajam, dan bibir mungilnya mulai bergerak-gerak. Sambil sesekali menunduk dan menutup wajahnya dengan selimut.<br />"Bunda janji ya jangan bilang-bilang ke 'ayah?" lirih suaranya, matanya melirik ke kanan dan ke kiri, juga melihat kedepan takut sampai kedengaran sama ayahnya. " Iya" jawabku singkat. Sambil kunaikkan daguku dengan maksud mengisyaratkan supaya dia segera bercerita.<br />"Em, em, em, em, itu bun, tadi Sakura mukul Hinata tau bun," ekspresinya yang takut ketahuan ayahnya. Lirih seperti berbisik ucapannya. "Oh, iyakah, lalu?" Kudekatkan wajahku padanya, lalu aku mulai mendengarkannya dengan seksama.<br /><br />Anakku mulai mendekatkan telingaku ke bibirnya. "Lalu Hinata bilang gini ke Sakura bun,". 'Eh Sakura, jangan mukul napa sih, sakit tau!' tetiba telingaku dijewer bun sama mamanya Sakura. Terus dibilangin begini. 'Hai kamu, Sakura nggak nakal tau nggak lo! Sentil nih berani bilang anakku nakal!' tangannya sambil mengisyaratkan seakan mau menyentil.<br />"Padahal ada bapak-bapak juga yang melihatku dipukul sama Sakura bun," kulihat dia mulai menitikkan air mata. "Terus?" Tanyaku singkat dengan menaruh tanganku di dagunya.<br />" Bapak itu bilang kalau jangan nakal sama anak orang, gitu bun, eh tetiba mamanya Sakura mengancam aku bun mau nyentil aku, ketika aku mau masuk rumah."<br />"Oh gitu, pantesan aja tadi kok tau-tau diam aja," ekspresiku penuh kepedulian dan mataku pun mulai berembun.<br />Setelah itu anakku pun mulai kedepan dan bergabung dengan ayahnya yang sedang menonton TV, santai duduk di sofa berwarna pink bermotif bunga-bunga. <br /><br />Aku berpikir sejenak, dan berkesimpulan. Orangtua yang bijak dan dewasa tidak akan membela anaknya yang melakukan kesalahan. Dan orangtua yang kekanak-kanakan akan mudah memusuhi dan membenci teman anaknya. Bahkan orangtuanya. Cenderung mudah emosi, dan malas untuk menelusuri kebenarannya. Baginya anaknya yang benar, dan temannya yang salah.<br /><br />Pada akhirnya mamanya Sakura tidak pernah menyapaku lagi. Setiap kali aku mau menyapanya, seketika itu juga dia memalingkan wajahnya pura-pura tidak melihatku. Biarpun begitu aku tetap menyapanya. "Permisi mama Sakura numpang lewat ya. " Senyumku lebar dan sambil membungkukkan badanku sedikit.<br />Tetap saja respon acuh dan benci yang dia lempar ke aku, bukan melempar senyuman ataupun ucapan ramah yang biasa dia ucapkan sebelumnya padaku.<br />Tak apalah, secuek apapun kamu, aku akan tetap ramah padamu mama Sakura. Aku tidak akan membencimu ataupun menjauhimu. Aku hanya akan berusaha untuk tidak memperkeruh hubungan persahabatan kita.<br />Berbicaralah sesuka hatimu tentangku dibelakangku. Jangan sampai aku tahu. Biar aku tetap husnudzon padamu.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-586675232683228786.post-1153666919868246972021-01-24T23:41:00.002-08:002021-01-24T23:41:27.927-08:00Kulkas Mode Gaya<p>Sejak aku memiliki kulkas, rasanya biasa saja. Padahal sebelumnya ia amat kudambakan. Pagi, siang dan malam. Apa fungsinya? ...
Ya, hingga saat ini benda kotak itu hanya berdiri di sudut sana, terbuka ketika seseorang merasa haus, lalu tertutup dengan dorongan kasar ketika ia tak memiliki sesuatu yang diinginkan. Seringnya, terbuka saat aku hendak memasak, mencari beberapa buah cabai segar, beberapa lembar sayuran dan aneka wadah yang berisi bumbu bukan rahasia. </p><p> Beberapa butir telur tersusun rapi, buah-buah segar banyak menempel pada dinding bagian luar, air yang mengeras terbungkus oleh plastik berkuncir karet gelang warna-warni. Senantiasa mengisi perut si lemari besi.
"Ha ha" tawaku. Terkadang keinginan yang menggebu itu, tak seharusnya kita turuti.
Kulkas di rumahku hanya sebagai hiasan semata, aku jarang berbelanja banyak. Makanan selalu habis kekejap mata, jangan harap ada sisa untuk dimakan si kulkas.
Kulkas, untuk menyimpan dan mengawetkan bahan makanan. Salah.
Kulkas, untuk hiasan. Tempat meletakkan berbagai alat perlengkapan perang. Betul. </p><p>Alat apa saja yang sering berada di atas dan di sisi kantung kulkas?
Potong kuku, kontak kendaraan (kunci motor), uang sisaan, cek. Bukan cek berharga, tapi cek pembayaran , struk belanja dan berbagai macam kertas lainnya.
Benda yang sedang dibutuhkan, bisa jadi sedang bersembunyi di dalam kantung ajaib Mama Emon.
Satu lagi terkadang benda tak tahu diri ini nangkring di atas kulkas, helm beserta kepalanya. Sungguh malang ....
Sesekali perut kulkas kenyang, bersamaan dengan hati Emak yang sedang berbunga. Awal bulan! Ya, Emak membawa berbagai jenis makanan dan bahan-bahan olahan sampai jenis ikan-ikanan. Sayur-mayur mulai dari 'kangkung hingga ke sawi'
'Jangan nikung, awas disunat lagi!'</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-586675232683228786.post-77952185360813016042020-12-24T23:49:00.001-08:002021-01-24T23:50:28.657-08:00Suamiku Bocah SMA <p> "Rendi ...!" teriakku kencang dari dalam kamar mandi. Keadaan begitu gelap. Lampu tiba-tiba padam. Bisa kutebak, ini pasti kelakuan bocah laki-laki usil itu lagi. Dia pasti sengaja memadamkan lampunya. Awas aja kalo ini benar perbuatannya. Tak unyel-unyel jadi perkedel, biar tau rasa.<br />Segera kuraih kimono handuk yang tersampir tak jauh dari tempatku berdiri, lalu memakainya. Meskipun tanpa penerangan, tapi aku tau letak gantungan yang biasa digunakan untuk menyampirkan handuk dan baju kotor. <br />Kuraba-raba dinding, berjalan mencari daun pintu. Sekian menit berada dalam kegelapan, akhirnya aku bisa bernapas lega. Pintu kamar mandi berada di hadapan. Segera kuputar knop. <br />Kulihat saklar lampu yang terhubung ke kamar mandi tertutup. Berarti benar, ada yang menutupnya. <br />Dari tempatku berdiri, sosok menyebalkan itu sedang duduk santai di bibir ranjang. Kedua kaki disilangkan dengan earphone terhubung di telinga. Matanya terpejam, tapi kepala manggut-manggut seperti sedang menikmati lagu yang didengarkan. <br /><br />Nggak salah lagi. Pasti bocah itu pelakunya. Yang seperti ini, nih, harus diberi pelajaran. Tapi, pelajaran apa? Bukankah tiap hari dia mendapat pelajaran? <br />"Rendi!" seruku di depan pintu.<br />Nggak ada sahutan. <br />"Rendi!" Kunaikkan suara satu oktaf.<br />Dia masih tetap diam. <br />Bodoh. Mau teriak sekeras geledek pun, Rendi nggak akan denger. Orang kupingnya tertutup earphone. <br />Aku melangkah cepat, menghampirinya. Matanya terpejam, tapi kepala bergoyang. Tanpa berpikir panjang earphone yang terhubung ke telinga, kutarik ke belakang. <br />Dia tersentak. Menatapku kesal, lalu bangkit dari duduk silanya. "Ada apa, nih?"<br />"Ada apa ... ada apa. Jangan belaga polos deh. Kamu matiin lampu kamar mandi, 'kan?" seruku sambil berkacak pinggang, <br />"Gue? Matiin lampu? Sorry banget layau. Mbak pikir, gue gak ada kerjaan?" Telunjuknya teracung menunjuk dada sendiri.<br /><br />Hemm ... mau ngeles rupanya. <br />"Siapa lagi kalo bukan kamu, Bocil? Dedemit?" <br />"Emang Mbak ada bukti? Atau saksi jika gue yang nglakuin? Jangan nuduh sembarangan deh, Mbak. Ini namanya fitnah. Kalo dipidanakan ada undang-undangnya lho. Yaitu pencemaran nama baik. Mbak, mau dilaporin?" <br />Asem tuh bocah. Pinter juga jawabnya. Tapi, aku yakin seribu persen kalo ini bukan fitnah. Dia kan emang biang keringat. Eh, biang masalah. <br />Huft ... seandainya ada saksi atau bukti. Tuh bocah pasti skak mat. <br />Pusing pala barbie. Baru juga tiga hari tinggal di sini. Tapi, kelakuan bocah itu hampir meledakkan isi kepala. <br />Lama-lama kalo seperti ini terus, wajahku bisa cepet keriput. Ah, masih mending keriput. Kalo mati muda, gimana? <br />"Bocah nyebelin!" Aku mencebik. Menatap tajam manik hitamnya. <br />"Apa liat-liat! Emang gue pisang? Mbak tuh mony**t" <br />Tuh kan. Berani sekali dia ngatain aku. <br />Ya Allah. <br /><br />Kenapa harus dia yang jadi jodohku, sih? Stok lelaki di dunia ini kan banyak. Kenapa harus dia? <br />Udah ngeselin, nyebelin, masih bau kencur pula. Aku yakin pipisnya juga belum lempeng. <br />Huft ... Sabar, Ren. Tarik napas, embuskan perlahan. <br />Dasar bocah rese! Awas aja. Tunggu pembalasanku nanti. <br />*** <br />"Ren, emang bener mulai hari ini kamu akan masuk kerja lagi?" Aku tersenyum kikuk mendapat pertanyaan dari papa mertua. <br />Sampai sekarang aku masih belum percaya, jika aku telah menjadi bagian dari keluarga Atmaja. Pemilik restoran tempatku bekerja. <br />Tiga pasang mata menatapku ingin tau dari tempat duduknya. Sambil mengunyah perlahan makanan yang masuk ke mulut. Berbeda sekali dengan remaja yang berseragam putih abu-abu di sampingku. Lahap banget makannya. Kayak nggak makan semingguan. <br />"Iya, Om." Singkat, padat, jelas. Hanya itu yang bisa kukatakan. Sumpah. Aku masih kikuk plus grogi. <br />"Kok, Om? Saya itu mertua kamu. Panggil saya, Papa." <br />"Iya, Ren. Panggil kami mama papa. Kamu sekarang udah menjadi keluarga kita. Nggak usah sungkan gitu. Santuy," tambah Tante Mirna. Entah, aku masih bingung harus memanggilnya apa. Bu bos, Tante, atau Mama sesuai perintahnya. <br />Ini semua gara-gara Rendi. Andai dia nggak datang ke kontrakanku malam itu. Pasti pernikahan ini nggak akan terjadi. <br />Tapi, ya udahlah. Nasi udah menjadi bubur. Tinggal tambahin sambel, kacang, suwiran ayam, kerupuk, dan kuah kuning. Disantap hangat-hangat di waktu hujan. Dijamin mantul. <br />Lha, kenapa jadi bahas makanan? <br />Aku meringis. Berhadapan dalam satu meja dengan mereka membuatku panas dingin. Otakku dipaksa bekerja untuk mencari alasan agar bisa menghindar dari kerumunan ini. <br />"Maaf semua. Aku pamit ke atas dulu, ya. Mau beresin baju." <br />Lidahku kelu. Menyebut nama Mama dan Papa pun rasanya masih sulit.<br />Di dalam kamar aku mondar-mandir di depan lemari. Bingung mau ngapain. Baju-baju udah aku beresin dari kemaren. Mau berangkat kerja, masih pagi. <br /><br />Suara derit pintu terbuka terdengar nyaring. Seseorang muncul di baliknya. Langkahnya tergesa memasuki kamar mandi. Kedua tangannya seperti meremas perut. <br />Kenapa bocil? <br />Iseng, aku mendekati pintu kamar mandi. Bersandar di baliknya dengan posisi menyamping. Satu telinga kutempelkan pada daun pintu. <br />Suara gemuruh panggilan alam terdengar saling menimpali dari dalam sana. Untung aja aku langsung membekap mulut. Kalo nggak, tawaku pasti menyembul keras. <br />Sukurin tuh. Mules-mules deh. Ini pasti tadi gara-gara sarapannya nggak inget porsi. Kena karmanya, 'kan? <br />Tiba-tiba aja sesuatu melintas dalam otak. Tadi kan dia udah ngerjain aku, sekarang saatnya memberi balasan. <br />Knop pintu kutekan sepelan mungkin agar nggak menimbulkan bunyi decitan. Setelah memutar benda logam bergerigi yang menggantung, aku langsung menariknya. <br />Bunyi air gemericik terdengar. Hajatnya pasti udah selesai. Aku masih di sini, di balik pintu. <br />Gagang pintu bergerak-gerak. Sekali ... <br />Dua kali ... <br />Tiga kali ... <br /><br />"Woi ... siapa yang ngunci pintu?" teriaknya. <br />Aku masih diem. <br />"Mbak Rena, pasti Mbak kan yang ngunci?" <br />"Mbak, buka pintunya!" <br />"Buka pintu, Mbak! Ntar gue telat." <br />Makin lama teriakannya makin kencang. Sambil gedor-gedor pintu pula. <br />"Apa sih, Cil? Sakit kuping aku denger teriakan kamu." <br />"Buka pintunya, Mbak! Cepetan! Gue bisa telat." <br />"Bodo amat."<br />"Mbak Renaaa!" <br />Hihihi ... rasakan pembalasanku, Bocil. Makanya jangan macem-macem sama aku.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-586675232683228786.post-29777559827284231862020-08-13T00:53:00.001-07:002021-01-24T23:54:24.105-08:00Beli Pulau Pribadi<p> "Mah ..." ucap si bungsu padaku, saat aku menyusun emas batangan di dalam brankas kristal X.<br />"Apalagi? Pasti minta macem-macem!" Aku curiga kalau si bungsu mendekati mamahnya, ada saja permintaannya, aneh-aneh, tau turunan siapa sih? Suka aneh orangnya.<br />"Bungsu pingin ke pulau," ungkapnya, hmm ... kan aneh, ngapain juga ke pulau, kita juga sekarang tinggal di pulau, pulau wekawekaland yang ada di tengah ibukota.<br />"Pulau apa sih? Pulau kapuk? Sana tidur! Biar bebas tulang guling di pulau kapuk!" suruhku pada bungsu yang jenis kelamin laki-laki ini seperti papahnya.<br />"Ih, Mamah ... Bungsu pingin ke pulau terbang, yang bisa terbang pulaunya." Dia minta aneh-aneh, pusing pala Encum Merry Cum binti Otong Sarotong ini, hadeuuuh.<br />"Sono berteman sama Aladin, sekalian follow Instagram, subscribe YouTube channel si Aladin, ajak bikin konten bareng, sekalian sama Jin Tomangnya, heh!" Aku kesal sama permintaan anak bungsuku yang lahirnya belakangan.<br />"Mamah gak asyik!" Dia cemberut.<br /><br />"Terus Mamah harus apa? Membikin pulau ini terbang ke udara? Berteman dengan awan putih yang berarakan? Menembus pelangi-pelangi yang alangkah indahmu? Gitu? Nanti kalau ada petir di siang bolong, bagaimana? Hancur dah tuh pulau! Aneh kamu Buuuung!" Aku marah-marah dengan intonasi tinggi sekitar 170m dari permukaan laut.<br />"Mamah kan orang kaya se pulau ini, beli pulau baru Mah, biar bebas kita apain tuh pulau." Tuh anak bener-bener aneh, masa juragan kontrakan disuruh beli pulau? Levelnya naik jauh, aku gak suka pansos, sukanya pangsit.<br />"Kemarin bikin kolam renang, menghabiskan dana berapa? Kamu gak tau kan?" Aku berusaha membuatnya sadar, bahwa harta tidak untuk dihambur-hamburkan untuk kepentingan pribadi, alangkah baiknya disedekahkan pada orang yang membutuhkan.<br />"Kolam renang begitu, paling habis 100 M doang, ya kan Mah?" Si bungsu malah menjawab seperti itu.<br /><br />"Anakku, Sayaaang, itu uang 100M kalau dibelikan kuaci, gak kebayang banyaknya, kamu tahu hah! Kolam renang kemarin berhasil mengurangi tabungan Mamah setengah triliun, kamu tahu setengah triliun berapa?"<br />"Yang pasti lebih sedikit dari satu triliun, lah." Anakku pinter banget ya matematika-nya, matematika sombong namanya, hmm.<br />"Kamu itu terlalu menggampangkan urusan, mentang-mentang orangtuanya sultan, mentang-mentang kamu anak bungsu, seenaknya aja minta yang aneh! Kali ini Mamah tidak izinkan, kamu berenang saja terus sama ikan teri medan, mereka tuh unyu-unyu kayak Mamah." Kali ini aku yang meninggalkan si bungsu, permintaannya untuk membeli pulau sungguh permintaan sombong yang tak patut ditiru.<br />Bisa saja aku membelikannya, paling harga pulau ukuran sehektar dua hektar, berkisar 300 an miliar, itu sih kecil, uang Encum masih bisa untuk beli benua Afrika, suwer te kewer-kewer dah!<br />Si bungsu juga ngambek, dia seharian berenang di kolam arus, dia ikuti air mengalirnya kemana-mana, wajahnya hampa seperti dulu waktu aku ditinggal mantan saat lagi sayang-sayangnya, untung ada bang Jaja yang mengisi kehampaan hati, sampai sekarang hatiku tak pernah hampa, selalu terisi dengan cinta kasih tulus dan suci, eaaaa.<br />Bang Jaja tau anaknya galau, dia menghampiriku.<br />"Cum ..." Suara bang Jaja kini mulai terdengar selalu di telinga, hingga menusuk di hatiku.<br />"Ja ..." Aku songong yak. Hihi.<br />"Kok manggilnya gitu?" Bang Jaja heran, hari ini aku songong.<br />"Hehehehe, sorry Bang, tes kuping Abang doang, ngeh apa enggak, dipanggil gitu, hihi." Aku tertawa kayak kuntilemak.<br />"Si bungsu minta apa lagi, sih? Kesianan ngambek sampe badannya bengkak berendem di kolam air tawar yang sedikit ada manis-manisnya gitu."<br />"Dia minta beli pulau, Bang," ungkapku.<br />"Bujugg buneng tuh bocah, dikira beli pulau kayak beli kuwaci rebus? Kan produsernya ribet!" Bang Jaja sepertinya tak setuju.<br /><br />"Prosedur Bang, bukan produser!" koreksiku.<br />"Iya, maksudnya Prosentur." Terserah bang Jaja aja lah, bebasss!<br />"Iya, gimana Bang solusinya tuh anak? Apa kita ruqyah aja ke pak Romli tukang kelapa itu," usulku.<br />"Mau diapain anak kita sama pak Romli? Diperas-peras kayak kelapa gitu, biar keluar santen warna ungu magenta?" Bang Jaja gak setuju anak kita diruqyah.<br />"Beli pulau kan ribet Bang, mana bayarnya ngantri di kasir, suka ditawari Kinder Joyos, kesel Encum, udah kecil, gak ngenyangin, mahal pula!" keluhku pada kasir indomirip, eh ... kok kasir sih?<br />"Kita beli aja tuh kebon raya di dekat kebon singkong, kayaknya bang haji Pe'i lagi butuh duit, bilang aja sama si Bungsu itu pulau Greenland, kan banyak pu'unnya." Bang Jaja usul beli kebon raya yang luasnya lebih luas dari Kebon Raya Bogor yang di Bogor, dekat stasiun Bogor yang banyak jualan asinan Bogor dan tales Bogor. Jadi ngiler pingin soto mie Bogor. Maklum Encum masih keturunan urang Bogor.<br /><br />"Ya udah, Encum mau buka aplikasi BlingBling dotkom, siapa tau pak haji Pe'i buka iklan di sana." Encum sebenarnya males mengabulkan permintaan si bungsu, tapi kata bang Jaja, anak kita cuma dua, buat apa uang banyak, kalau anak kita merana, kan masih banyak lebihnya. Ya sudahlah, demi cintaku padamu, aku rela, rela aku rela kan, rela rela rela aku aku rela kan.<br />Akhirnya Encum dan bang Jaja jadi membeli kebun raya Greenland, si bungsu seneng banget, dia langsung ambil skuter matik nya, dia bergembira ria bersama teman-temannya balapan naik skuter di tanah yang mendaki.<br />Bungsu juga manjat-manjat pohon beringin, dia sibuk menghitung akar gantung yang menjuntai ke bawah tidak ke atas, dia ada tugas dari guru PKN-nya, disuruh menyebutkan sila ketiga Pancasila yang berlambang pohon beringin, bukan berangan.<br />Harga kebun raya ternyata hanya 450M, segitu mah belum mahal menurutku, karena untuk supaya harta kami berkah, sebelum membayar kebun raya Greenland, Encum sedekahin harta Encum tiga kali lipat dari harga pulau kebun raya ini, alhamdulillah.<br />Kita harus banyak berbagi 'kan? Supaya berkah rezeki kita.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-586675232683228786.post-62093873779374597092020-06-25T00:45:00.000-07:002021-01-24T23:45:33.739-08:00Amplop Atau Hadiah Bertuliskan Nama Pemberi<p> Kebiasaan dari orangtua kita terdahulu, setiap akan menghadiri sebuah acara pernikahan, pasti akan memberikan hadiah, berupa uang dalam amplop. Ada juga yang memberi sembako semisal, beras, gula, teh dan lain sebagainya. Adapula yang memberi kado.<br />Pemikiran jaman dulu, sengaja memberi nama agar si penerima tahu bahwa dia telah memberikan sumbangan sekian ribu dan si pemberi berharap uangnya dikembalikan ketika dia ada hajatan juga.<br />Berilah seikhlasnya yang sesuai kemampuan. Supaya tidak memberatkan si penerima. Jangan berharap suatu saat nanti akan dikembalikan. Istilah jawanya kalau di daerah saya namanya kepotangan.<br />Adapula yang niatnya memberi nama di amplopnya bukan agar dikembalikan, karena tidak semua orang itu mempunyai pikiran yang sama ya 'kan? Manusia dengan beragam perangainya, pemikiran dan kebiasaannya. Banyak kejadian ada amplop kosong tanpa nama. Juga biar tidak ada yang su'udzon. Semisal, "Masak kesini setor muka aja, ngamplop enggak, makan iya." (Menghindari agar tidak digunjingkan).<br />"Yuk, Pah, kita ke acara nikahan sodara kita yang di kota, kita silaturahim kesana!" ajakku seraya menyambar pena yang berada di tas dan menuliskan nama di amplop bermaksud agar si tuan rumah tahu kalau ke sana tanpa tangan kosong, jadi bukan bermaksud mengharap nanti akan dikembalikan.<br />Jadi jangan mendatangi suatu hajat karena dulu yang punya hajat pernah mendatangi hajat kita. Mau belum pernah sekalipun, semisal diundang ya kalau pas kita ada waktu longgar kita hadiri. Sebagai bentuk menghormati orang yang punya hajat (budi luhur, mendatangi undangan)<br />Tidak minta dibalas, tapi sebagai tanda kita sudah menghadiri acaranya.<br />Kalau niat ngamplopin supaya nanti dibalas juga ketika kita punya acara, maka akan begitu kecewa bila yang pernah kita amplopin tidak datang ke acara kita.<br />Ada 'kan yang sengaja mengadakan acara yang meriah, demi mengharap amplop yang banyak dari banyaknya tamu yang diundang? jawabnya banyak.<br />Adapula yang mengadakan pesta atau hajatan mengundang siapa saja dan memberi tulisan 'Tidak menerima sumbangan dalam bentuk apapun'. Ada pengemis atau pengamen lewat pun disuruh makan.<br />Adapula sengaja tidak mengundang-undang ketika ada hajatan karena takut membebani yang diundang. Mengundang siapa saja yang bisa hadir.<br /><br />Memberi dengan ikhlas tanpa mengharap balasan itu membuat hidup menjadi damai tenteram. Juga jangan mengungkit dengan apa-apa yang pernah kita berikan kepada orang lain.<br />Tradisi dari orangtua jaman dulu itu, semisal dulu kita pernah disumbang lima puluh ribu, nanti kita juga harus mengembalikan lima puluh ribu itu ketika kita diundang ke acara hajatannya. Kalau bisa lebih, karena itu sudah belasan tahun yang lalu. Semisal disumbang gula 5, teh 1 pres, beras 5 kilo. Ya, harus sama jumlahnya.<br />Sehingga itu menjadi momok yang menakutkan bagi orang-orang yang kurang mampu atau ketika waktu itu benar-benar sedang tidak mempunyai uang.<br /><br />Seringkali ada yang ngoyo memaksakan diri untuk berhutang demi bisa mengembalikan uang tersebut.<br />Kita sebagai penerus jaman now apakah akan ikut-ikutan juga? Sudah saatnya kita memutus tradisi seperti itu. Memberilah tanpa mengharap dibalas atau dikembalikan.<br />Memang masih ada beberapa daerah yang menjaga agar tradisi 'memberi mengharap balasan' itu tetap lestari.<br />Namun, tetap ada masyarakat yang memberi dengan ikhlas tanpa mengharap kembali. Ada beberapa lapisan masyarakat yang mempunyai prinsip gotong royong guyub rukun. Masyarakat akan ikut bahagia dengan adanya pernikahan, kelahiran bayi juga sunatan serta beberapa hajat lainnya. Walaupun mungkin tidak bisa membantu banyak tapi dengan tidak menuliskan nama pada amplop setidaknya tidak menyusahkan dan tidak membebani tuan rumah serta menghindari zu'udzon walaupun yang mempunyai hajat sudah mempersiapkan semuanya.<br />Beda tempat beda prinsip walau mungkin sama tradisinya. Ada di sebuah daerah ketika ada yang habis melahirkan, wajib didatangi dan diberi apa yang sekiranya dia mampu berikan. <br /><br />Lalu dicatat. Untuk apa? Untuk nantinya semisal sang pemberi mengalami hal yang sama atau dalam keadaan susah ekonominya, maka orang yang pernah menerima pemberiannya bisa membantu dengan hal yang sama atau semisal uang dengan nominal yang sama syukur bisa lebih.<br />Nah, di antara kebiasaan teman-temanku pun semisal ada anaknya yang disunat mau diundang apa tidak, mau ada acara apa tidak kalau ketahuan otomatis pada datang. Padahal sudah diam-diam sengaja tidak memberi tahu mereka. Itulah guyub rukun kompak selalu di antara kami.<br />Note : Bagi yang sama-sama sudah mengaji dan paham, dinasehatin supaya tidak ada salam tempel [memberi amplop diberi nama] lalu diberikan kepada yang punya hajat. Berilah amplop tanpa nama, isilah uang dengan sewajarnya atau sepantasnya atau semampunya. Syukur bisa banyak bila mampu. Sak pol kemampuan.</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-586675232683228786.post-57997656315576913982020-06-15T17:31:00.001-07:002020-06-15T17:31:14.990-07:00Sayangi Kucing Dengan Tulus Ikhlas Tanpa Berharap Imbal Balik <div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Tolong buat teman-teman yang punya rumah makan atau sejenisnya.<br />Bila ada kucing yg datang ke warung teman-teman, tolong jangan di tendang atau di pukul, karena dia sedang kelaparan dan mencari makan atau meminta makan kepda kita, klo kucing sudah mendekati kita tandanya ada rezeki dia di kita.<br /><br />Begitu juga kucing yang ada disekitar rumah kita, kalau sudah tanda-tanda lapar kucing tersebut atau kita lagi makan, ya di siapkan juga piring lalu dicampur nasi dengan ikan, agar kucing di sekitar kita juga ikut kenyang. <br />Tolong dengan sangat jangan sekali-kali menendang kucing atau nyiram Kucing. kita tendang, tulang kucing juga bisa remuk. <br /><br />Sudah lapar kena tendang lagi. Bayangkan seandainya kita berada diposisi kucing tersebut.<br />Betapa perihnya kucing menahan rasa lapar.<br />Bersedekah atau menyayangi itu tidak hanya ke sesama manusia, tapi juga ke makhluk hidup yang lainnya.</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-586675232683228786.post-5933613610149665652020-03-25T00:55:00.001-07:002021-01-24T23:55:49.270-08:00Ditipu Laki-Laki Negeri Sebrang<p> Hampir setiap hari membaca curhatan seseorang bagaimana orang luar negeri bergerilya mengincar perempuan Indonesia. Wah, apakah se-spesial itu wanita negri ini bagi pria luar? Jawabannya, bisa jadi ya bisa jadi tidak. <br />Agaknya, ada satu kisah yang ingin saya bagikan agar para perempuan berhati-hati atas setiap pendekatan yang dilakukan oleh sembarang orang terlebih pria asing yang kadang menjadi 'hal yang membius' bagi perempuan dalam negeri. <br /><br />Kisah ini disampaikan oleh seorang kolega seorang perempuan yang kebetulan seorang janda. Perempuan ini mengunggah curhatannyadi sebuah grup konsultasi hukum demi mencari solusi dari aspek hukum.<br />Kisahnya dimulai saat koleganya didekati pria asing melalui media sosial. Seperti gayung bersambut saat perempuan yang didekati merupakan perempuan singel yang sedang menunggu jodohnya kembali. <br />Singkat cerita, si pria asing berjanji akan mendatangi si perempuan sekaligus membicarakan renacana yang lebih serius ke keluarga si perempuan. Si perempuan senang dan menantinya dengan penuh harapan. Setelah beberapa saat, si pria asing mengabari bahwa ia telah sampai di bandara Soeta. Namun sayang, ia mengabarkan berita buruk bahwa ia tertahan di bagian imigrasi. <br />Si perempuan begitu percaya. Nahkan saat si pria menyampaikan pinjam uang sebanyak lima puluh juta sebagai jaminan lepas dari kantor keimigrasian, saat otu jiga si perempuan mengirimkan sejumlah uang yang diminta. Setelah itu, nomor si pria tak pernah bisa dihubungi dan tentu saja tak pernah datang ke rumahnya. <br /><br />Beberapa komentar masuk di curhatan tersebut. Mayoritas pendapat sulitnya mengungkap perkara penipuan apalagi dengan orang asing dan tanpa ada unsur pemaksaan. Sehingga banyak dari komentator menyarankan agar perkara ini sebagai pelajaran karena tak sedikit yang mengalaminya. <br />Pelajaran secara umum, baik pria asing atau lokal, seharusnya perempuan bisa menjaga dirinya. Terlebih bagi seorang janda, yang menurut beberapa ulama memang berat ujiannya. <br />Apakah ini diskriminasi bagi seorang janda? Bukan. <br />Apakah ini generalisir bahwa seorang janda itu tak mampu menjaga dirinya? Bukan. Namun kiranya, hal ini hanyalah sebuah pengingat bersama bagi kita sesama perempuan. Terlebih perempuan muslimah yang memang Allah wajibkan jaga izzah, iffah, serta muru'ahnya. <br />Beberapa kali, dalam kajian Buya Yahya, banyak sekali yang bertanya perkara pernikahan. Jika terkait seorang istri yang mengadukan suaminya begini dan begitu, Buya selalu mengingatkan agar sang istri menimbang lagi matang-matang jika pikiran menggugat cerai hadir di pikiran. Ya, selama perkara yang dilakukan suami bukan perkara yang membatalkan pernikahan secara otomatis atau tidak berkaitan dengan nyawa si istri atau yang lainnya, maka jauh-jauhlah memilih opsi perceraian. Karena menurut Buya, godaan saat menjadi seorang janda begitu dahsyat dibanding singel namun belum pernah menikah sebelumnya. <br /><br />"Ah, tapi kan yang kena tipu cowok, gak jarang juga yang masih bersuami."<br />Betul, di luaran, banyak kisah istri yang masih bersuami tertipu laki-laki lain simpanannya. Namun untuk kasus ini, seharusnya nasihat besarnya dosa selingkuh sudah cukup baginya bahkan jika selingkuhannya pun tak menipunya. <br />Akan tetapi, begitulah jalan manusia. Kiranya kita mengikuti setiap perintah Allah dari yang terkecil sampai yangbterbesar, dari hal yang umum sampai hal yang detail, in syaa Allah kita melewati setiap godaan yang ada. Aamiin Allahumma Aamiin<br /><br /><br /><br /></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-586675232683228786.post-53626255004406074812020-01-24T23:43:00.000-08:002021-01-24T23:44:18.068-08:00 SEATAP DENGAN IPAR<br /><div><div class="stjgntxs ni8dbmo4 l82x9zwi uo3d90p7 h905i5nu monazrh9" data-visualcompletion="ignore-dynamic"><div><div><div><div class="l9j0dhe7"><div class="bp9cbjyn m9osqain j83agx80 jq4qci2q bkfpd7mw a3bd9o3v kvgmc6g5 wkznzc2l oygrvhab dhix69tm jktsbyx5 rz4wbd8a osnr6wyh a8nywdso s1tcr66n"><div class="bp9cbjyn j83agx80 buofh1pr ni8dbmo4 stjgntxs"><span aria-label="See who reacted to this" role="toolbar"><span class="bp9cbjyn j83agx80 b3onmgus" id="jsc_c_uc"><span class="np69z8it et4y5ytx j7g94pet b74d5cxt qw6c0r16 kb8x4rkr ed597pkb omcyoz59 goun2846 ccm00jje s44p3ltw mk2mc5f4 qxh1up0x qtyiw8t4 tpcyxxvw k0bpgpbk hm271qws rl04r1d5 l9j0dhe7 ov9facns kavbgo14"><span class="t0qjyqq4 jos75b7i j6sty90h kv0toi1t q9uorilb hm271qws ov9facns"><span class="tojvnm2t a6sixzi8 abs2jz4q a8s20v7p t1p8iaqh k5wvi7nf q3lfd5jv pk4s997a bipmatt0 cebpdrjk qowsmv63 owwhemhu dp1hu0rb dhp61c6y iyyx5f41"></span></span></span></span></span></div></div></div></div></div></div></div></div><span aria-label="See who reacted to this" role="toolbar"><span class="bp9cbjyn j83agx80 b3onmgus" id="jsc_c_uc"><span class="np69z8it et4y5ytx j7g94pet b74d5cxt qw6c0r16 kb8x4rkr ed597pkb omcyoz59 goun2846 ccm00jje s44p3ltw mk2mc5f4 qxh1up0x qtyiw8t4 tpcyxxvw k0bpgpbk hm271qws rl04r1d5 l9j0dhe7 ov9facns tkr6xdv7"><span class="t0qjyqq4 jos75b7i j6sty90h kv0toi1t q9uorilb hm271qws ov9facns"><span class="tojvnm2t a6sixzi8 abs2jz4q a8s20v7p t1p8iaqh k5wvi7nf q3lfd5jv pk4s997a bipmatt0 cebpdrjk qowsmv63 owwhemhu dp1hu0rb dhp61c6y iyyx5f41"></span></span></span></span></span><span aria-label="See who reacted to this" role="toolbar"><span class="bp9cbjyn j83agx80 b3onmgus" id="jsc_c_uc"><span class="np69z8it et4y5ytx j7g94pet b74d5cxt qw6c0r16 kb8x4rkr ed597pkb omcyoz59 goun2846 ccm00jje s44p3ltw mk2mc5f4 qxh1up0x qtyiw8t4 tpcyxxvw k0bpgpbk hm271qws rl04r1d5 l9j0dhe7 ov9facns du4w35lb"><span class="t0qjyqq4 jos75b7i j6sty90h kv0toi1t q9uorilb hm271qws ov9facns"><span class="tojvnm2t a6sixzi8 abs2jz4q a8s20v7p t1p8iaqh k5wvi7nf q3lfd5jv pk4s997a bipmatt0 cebpdrjk qowsmv63 owwhemhu dp1hu0rb dhp61c6y iyyx5f41"></span></span></span></span></span>"Bun, tagihan listrik dan air bulan ini naik dua kali lipat." kata Mas Aldi, suamiku.<br /><span aria-label="See who reacted to this" role="toolbar"><span class="bp9cbjyn j83agx80 b3onmgus" id="jsc_c_uc"><span class="np69z8it et4y5ytx j7g94pet b74d5cxt qw6c0r16 kb8x4rkr ed597pkb omcyoz59 goun2846 ccm00jje s44p3ltw mk2mc5f4 qxh1up0x qtyiw8t4 tpcyxxvw k0bpgpbk hm271qws rl04r1d5 l9j0dhe7 ov9facns du4w35lb"><span class="t0qjyqq4 jos75b7i j6sty90h kv0toi1t q9uorilb hm271qws ov9facns"></span></span></span></span><p>Aku ternganga mendengar penuturannya. Bagaimana bisa? Sedangkan kami pulang kampung hampir tiga minggu. Selama itu juga tak ada listrik yang menyala. Tapi kenapa tagihannya melonjak?<br />"Kok bisa, Yah? Kan selama kita pulang kampung lampu sudah kita matikan semua." tanyaku hati-hati<br />"Gak tau tuh. Tadi Iwan ngeluh sama aku. Makanya kamu jangan boros-boros pemakaiannya!" Jawabnya dengan nada sedikit di tekan.<br />Mas Aldi adalah sulung dari dua bersaudara. Adiknya namanya Iwan, sudah menikah dan punya anak satu.<br />Dua tahun pernikahan kami, semuanya baik-baik saja. Itu karena setelah menikah kami memutuskan untuk mengontrak rumah.<br />Tahun berikutnya ibu mertua sakit keras. Beliau ingin berkumpul dengan anak dan cucunya. Akhirnya kami disuruh pindah kerumah ibu mertua.<br />"Mas, karena kamu juga tinggal disini, kita bayar listriknya patungan ya!" pinta Iwan sore itu ketika kami baru saja tiba.<br />"Iya." Jawab Mas Aldi.<br />***<br />Sebulan kemudian ibu mertua menghembuskan nafas terakhir. Mas Aldi sangat terpukul dengan kepergian ibu. Aku pun terus menguatkannya.<br />Karena ku fikir ibu mertua sudah tak ada, jadi lebih baik kami mencari kontrakan saja. Biarlah Iwan yang mengurus rumah itu.<br />Tapi Mas Aldi tak mau. Alasannya karena dia ingin terus mengenang ibu. Aku pun mengalah.<br />Sebenarnya aku kurang nyaman harus serumah dengan ipar. Terlebih hubunganku dengan istri Iwan-Ella, kurang baik. Ini bermula karena almarhumah ibu mertua lebih perhatian padaku dan anakku-Fadly, dari pada dirinya. Itulah yang membuatnya cemburu.<br />Mas Aldi menyuruhku untuk sehemat mungkin menggunakan air dan listrik. Aku pun berusaha menghematnya semampuku.<br />Mencuci pakaian hanya satu kali sehari itu pun cuci manual. Begitu pun memasak di rice cooker. Aku memasak untuk dua kali makan, untuk siang dan malam. Setelah nasi matang langsung ku cabut. Setelah sore ku colok lagi agar nasi panas saat makan malam.<br />Tak ada kulkas, tak ada dispenser, tv hanya menyala setelah magrib sampai jam 10 malam. Menyetrika pun hanya untuk baju kemeja.<br />Sementara istri Iwan ada kulkas, dispenser, tv yang dinyalakan dari pagi sampai larut malam baru dimatikan. Mencuci bisa dua kali sehari, pagi dan sore menggunakan mesin cuci.<br />Tapi menurut Iwan, semenjak kehadiran kami dirumah itu tagihan listrik terus membengkak. Akulah yang disalahkannya karena terlalu boros.<br />Mas Aldi bukannya membelaku, malah ikut memojokkanku. Aku hanya bisa terdiam tanpa membela diri. Karena jika bicara pun percuma.<br />***<br />"Jual dulu cincin kawin kamu ya, Bun! Ayah lagi gak punya uang buat bayar listrik. Usaha Iwan juga lagi sepi, jadi dia gak bisa ikut patungan." Pinta Mas Aldi padaku.<br />"Aku gak setuju, Yah! Ini kan cincin kawin kita, kenapa harus di jual? Kalau dia gak ada uang, usaha dong! Jangan apa-apa kita yang harus mikirin. Jangan bisanya makai aja tanpa mau bayar." aku menjawab dengan nada tinggi.<br />"Biar gimana pun, Iwan itu adikku. Sudah kewajibanku membantunya. Lagi pula kamu gak berterima kasih banget bisa tinggal dengan nyaman dirumah KAMI." bentaknya.<br />Air mataku sudah menganak sungai. Aku tidak bisa terus-terusan begini. Bukan tak ingin membantu, tetapi dia dibantu makin tak tau diri.<br />Seharusnya dia sadar, makin banyak pemakaian, maka tagihan makin besar. Apa dia fikir kulkas, dispenser, mesin cuci, dkk tak menggunakan listrik. Jika ingin tiap bulannya bayar sedikit, setidaknya belajar berhemat. Percuma jika hanya aku yang berhemat. Sementara dia membiarkan tv menyala tanpa ditonton.<br /> </p><p>"Selama ini aku sudah berusaha menghemat pemakaian.Saking niatnya kamu berhemat, kamu bahkan menyuruhku dan fadly hanya menggunakan satu stel pakaian sehari semalam. Kamu fikir nyaman mengenakan pakaian dari pagi sampai malam?" Tanyaku kesal.<br />"Kamu tuh kalau dibilangin ngelawan aja!"<br />"Bukan ngelawan, Yah. Tapi kamu keterlaluan. Waktu kita ngontrak dulu, kamu gak sehemat ini." Jawabku sambil menangis.<br />"Kalau kamu gak suka, pergi aja dari sini. Ajak Fadly sekalian. Aku gak mau kamu jadi benalu dirumah ini." Ucap Mas Aldi dengan tegas.<br /> </p><p>Aku tak percaya suami yang dulu sangat menyayangiku dan Fadly tega mengusirku.<br />Aku menghapus air mata. Aku tak boleh lemah. Harus kuat demi Fadly. Akan ku buktikan aku bisa tanpanya. Bergegas aku masuk kamar dan memasukkan pakaianku dan Fadly dalam koper.<br />Aku memutuskan untuk pergi dari rumah itu. Bosan rasanya jika terus dianggap sebangai benalu. Lagi pula Mas Aldi sudah mengusirku.<br /></p>Unknownnoreply@blogger.com0