SEATAP DENGAN IPAR


"Bun, tagihan listrik dan air bulan ini naik dua kali lipat." kata Mas Aldi, suamiku.

Aku ternganga mendengar penuturannya. Bagaimana bisa? Sedangkan kami pulang kampung hampir tiga minggu. Selama itu juga tak ada listrik yang menyala. Tapi kenapa tagihannya melonjak?
"Kok bisa, Yah? Kan selama kita pulang kampung lampu sudah kita matikan semua." tanyaku hati-hati
"Gak tau tuh. Tadi Iwan ngeluh sama aku. Makanya kamu jangan boros-boros pemakaiannya!" Jawabnya dengan nada sedikit di tekan.
Mas Aldi adalah sulung dari dua bersaudara. Adiknya namanya Iwan, sudah menikah dan punya anak satu.
Dua tahun pernikahan kami, semuanya baik-baik saja. Itu karena setelah menikah kami memutuskan untuk mengontrak rumah.
Tahun berikutnya ibu mertua sakit keras. Beliau ingin berkumpul dengan anak dan cucunya. Akhirnya kami disuruh pindah kerumah ibu mertua.
"Mas, karena kamu juga tinggal disini, kita bayar listriknya patungan ya!" pinta Iwan sore itu ketika kami baru saja tiba.
"Iya." Jawab Mas Aldi.
***
Sebulan kemudian ibu mertua menghembuskan nafas terakhir. Mas Aldi sangat terpukul dengan kepergian ibu. Aku pun terus menguatkannya.
Karena ku fikir ibu mertua sudah tak ada, jadi lebih baik kami mencari kontrakan saja. Biarlah Iwan yang mengurus rumah itu.
Tapi Mas Aldi tak mau. Alasannya karena dia ingin terus mengenang ibu. Aku pun mengalah.
Sebenarnya aku kurang nyaman harus serumah dengan ipar. Terlebih hubunganku dengan istri Iwan-Ella, kurang baik. Ini bermula karena almarhumah ibu mertua lebih perhatian padaku dan anakku-Fadly, dari pada dirinya. Itulah yang membuatnya cemburu.
Mas Aldi menyuruhku untuk sehemat mungkin menggunakan air dan listrik. Aku pun berusaha menghematnya semampuku.
Mencuci pakaian hanya satu kali sehari itu pun cuci manual. Begitu pun memasak di rice cooker. Aku memasak untuk dua kali makan, untuk siang dan malam. Setelah nasi matang langsung ku cabut. Setelah sore ku colok lagi agar nasi panas saat makan malam.
Tak ada kulkas, tak ada dispenser, tv hanya menyala setelah magrib sampai jam 10 malam. Menyetrika pun hanya untuk baju kemeja.
Sementara istri Iwan ada kulkas, dispenser, tv yang dinyalakan dari pagi sampai larut malam baru dimatikan. Mencuci bisa dua kali sehari, pagi dan sore menggunakan mesin cuci.
Tapi menurut Iwan, semenjak kehadiran kami dirumah itu tagihan listrik terus membengkak. Akulah yang disalahkannya karena terlalu boros.
Mas Aldi bukannya membelaku, malah ikut memojokkanku. Aku hanya bisa terdiam tanpa membela diri. Karena jika bicara pun percuma.
***
"Jual dulu cincin kawin kamu ya, Bun! Ayah lagi gak punya uang buat bayar listrik. Usaha Iwan juga lagi sepi, jadi dia gak bisa ikut patungan." Pinta Mas Aldi padaku.
"Aku gak setuju, Yah! Ini kan cincin kawin kita, kenapa harus di jual? Kalau dia gak ada uang, usaha dong! Jangan apa-apa kita yang harus mikirin. Jangan bisanya makai aja tanpa mau bayar." aku menjawab dengan nada tinggi.
"Biar gimana pun, Iwan itu adikku. Sudah kewajibanku membantunya. Lagi pula kamu gak berterima kasih banget bisa tinggal dengan nyaman dirumah KAMI." bentaknya.
Air mataku sudah menganak sungai. Aku tidak bisa terus-terusan begini. Bukan tak ingin membantu, tetapi dia dibantu makin tak tau diri.
Seharusnya dia sadar, makin banyak pemakaian, maka tagihan makin besar. Apa dia fikir kulkas, dispenser, mesin cuci, dkk tak menggunakan listrik. Jika ingin tiap bulannya bayar sedikit, setidaknya belajar berhemat. Percuma jika hanya aku yang berhemat. Sementara dia membiarkan tv menyala tanpa ditonton.
 

"Selama ini aku sudah berusaha menghemat pemakaian.Saking niatnya kamu berhemat, kamu bahkan menyuruhku dan fadly hanya menggunakan satu stel pakaian sehari semalam. Kamu fikir nyaman mengenakan pakaian dari pagi sampai malam?" Tanyaku kesal.
"Kamu tuh kalau dibilangin ngelawan aja!"
"Bukan ngelawan, Yah. Tapi kamu keterlaluan. Waktu kita ngontrak dulu, kamu gak sehemat ini." Jawabku sambil menangis.
"Kalau kamu gak suka, pergi aja dari sini. Ajak Fadly sekalian. Aku gak mau kamu jadi benalu dirumah ini." Ucap Mas Aldi dengan tegas.
 

Aku tak percaya suami yang dulu sangat menyayangiku dan Fadly tega mengusirku.
Aku menghapus air mata. Aku tak boleh lemah. Harus kuat demi Fadly. Akan ku buktikan aku bisa tanpanya. Bergegas aku masuk kamar dan memasukkan pakaianku dan Fadly dalam koper.
Aku memutuskan untuk pergi dari rumah itu. Bosan rasanya jika terus dianggap sebangai benalu. Lagi pula Mas Aldi sudah mengusirku.

0 Response to " SEATAP DENGAN IPAR"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel