Beli Pulau Pribadi

 "Mah ..." ucap si bungsu padaku, saat aku menyusun emas batangan di dalam brankas kristal X.
"Apalagi? Pasti minta macem-macem!" Aku curiga kalau si bungsu mendekati mamahnya, ada saja permintaannya, aneh-aneh, tau turunan siapa sih? Suka aneh orangnya.
"Bungsu pingin ke pulau," ungkapnya, hmm ... kan aneh, ngapain juga ke pulau, kita juga sekarang tinggal di pulau, pulau wekawekaland yang ada di tengah ibukota.
"Pulau apa sih? Pulau kapuk? Sana tidur! Biar bebas tulang guling di pulau kapuk!" suruhku pada bungsu yang jenis kelamin laki-laki ini seperti papahnya.
"Ih, Mamah ... Bungsu pingin ke pulau terbang, yang bisa terbang pulaunya." Dia minta aneh-aneh, pusing pala Encum Merry Cum binti Otong Sarotong ini, hadeuuuh.
"Sono berteman sama Aladin, sekalian follow Instagram, subscribe YouTube channel si Aladin, ajak bikin konten bareng, sekalian sama Jin Tomangnya, heh!" Aku kesal sama permintaan anak bungsuku yang lahirnya belakangan.
"Mamah gak asyik!" Dia cemberut.

"Terus Mamah harus apa? Membikin pulau ini terbang ke udara? Berteman dengan awan putih yang berarakan? Menembus pelangi-pelangi yang alangkah indahmu? Gitu? Nanti kalau ada petir di siang bolong, bagaimana? Hancur dah tuh pulau! Aneh kamu Buuuung!" Aku marah-marah dengan intonasi tinggi sekitar 170m dari permukaan laut.
"Mamah kan orang kaya se pulau ini, beli pulau baru Mah, biar bebas kita apain tuh pulau." Tuh anak bener-bener aneh, masa juragan kontrakan disuruh beli pulau? Levelnya naik jauh, aku gak suka pansos, sukanya pangsit.
"Kemarin bikin kolam renang, menghabiskan dana berapa? Kamu gak tau kan?" Aku berusaha membuatnya sadar, bahwa harta tidak untuk dihambur-hamburkan untuk kepentingan pribadi, alangkah baiknya disedekahkan pada orang yang membutuhkan.
"Kolam renang begitu, paling habis 100 M doang, ya kan Mah?" Si bungsu malah menjawab seperti itu.

"Anakku, Sayaaang, itu uang 100M kalau dibelikan kuaci, gak kebayang banyaknya, kamu tahu hah! Kolam renang kemarin berhasil mengurangi tabungan Mamah setengah triliun, kamu tahu setengah triliun berapa?"
"Yang pasti lebih sedikit dari satu triliun, lah." Anakku pinter banget ya matematika-nya, matematika sombong namanya, hmm.
"Kamu itu terlalu menggampangkan urusan, mentang-mentang orangtuanya sultan, mentang-mentang kamu anak bungsu, seenaknya aja minta yang aneh! Kali ini Mamah tidak izinkan, kamu berenang saja terus sama ikan teri medan, mereka tuh unyu-unyu kayak Mamah." Kali ini aku yang meninggalkan si bungsu, permintaannya untuk membeli pulau sungguh permintaan sombong yang tak patut ditiru.
Bisa saja aku membelikannya, paling harga pulau ukuran sehektar dua hektar, berkisar 300 an miliar, itu sih kecil, uang Encum masih bisa untuk beli benua Afrika, suwer te kewer-kewer dah!
Si bungsu juga ngambek, dia seharian berenang di kolam arus, dia ikuti air mengalirnya kemana-mana, wajahnya hampa seperti dulu waktu aku ditinggal mantan saat lagi sayang-sayangnya, untung ada bang Jaja yang mengisi kehampaan hati, sampai sekarang hatiku tak pernah hampa, selalu terisi dengan cinta kasih tulus dan suci, eaaaa.
Bang Jaja tau anaknya galau, dia menghampiriku.
"Cum ..." Suara bang Jaja kini mulai terdengar selalu di telinga, hingga menusuk di hatiku.
"Ja ..." Aku songong yak. Hihi.
"Kok manggilnya gitu?" Bang Jaja heran, hari ini aku songong.
"Hehehehe, sorry Bang, tes kuping Abang doang, ngeh apa enggak, dipanggil gitu, hihi." Aku tertawa kayak kuntilemak.
"Si bungsu minta apa lagi, sih? Kesianan ngambek sampe badannya bengkak berendem di kolam air tawar yang sedikit ada manis-manisnya gitu."
"Dia minta beli pulau, Bang," ungkapku.
"Bujugg buneng tuh bocah, dikira beli pulau kayak beli kuwaci rebus? Kan produsernya ribet!" Bang Jaja sepertinya tak setuju.

"Prosedur Bang, bukan produser!" koreksiku.
"Iya, maksudnya Prosentur." Terserah bang Jaja aja lah, bebasss!
"Iya, gimana Bang solusinya tuh anak? Apa kita ruqyah aja ke pak Romli tukang kelapa itu," usulku.
"Mau diapain anak kita sama pak Romli? Diperas-peras kayak kelapa gitu, biar keluar santen warna ungu magenta?" Bang Jaja gak setuju anak kita diruqyah.
"Beli pulau kan ribet Bang, mana bayarnya ngantri di kasir, suka ditawari Kinder Joyos, kesel Encum, udah kecil, gak ngenyangin, mahal pula!" keluhku pada kasir indomirip, eh ... kok kasir sih?
"Kita beli aja tuh kebon raya di dekat kebon singkong, kayaknya bang haji Pe'i lagi butuh duit, bilang aja sama si Bungsu itu pulau Greenland, kan banyak pu'unnya." Bang Jaja usul beli kebon raya yang luasnya lebih luas dari Kebon Raya Bogor yang di Bogor, dekat stasiun Bogor yang banyak jualan asinan Bogor dan tales Bogor. Jadi ngiler pingin soto mie Bogor. Maklum Encum masih keturunan urang Bogor.

"Ya udah, Encum mau buka aplikasi BlingBling dotkom, siapa tau pak haji Pe'i buka iklan di sana." Encum sebenarnya males mengabulkan permintaan si bungsu, tapi kata bang Jaja, anak kita cuma dua, buat apa uang banyak, kalau anak kita merana, kan masih banyak lebihnya. Ya sudahlah, demi cintaku padamu, aku rela, rela aku rela kan, rela rela rela aku aku rela kan.
Akhirnya Encum dan bang Jaja jadi membeli kebun raya Greenland, si bungsu seneng banget, dia langsung ambil skuter matik nya, dia bergembira ria bersama teman-temannya balapan naik skuter di tanah yang mendaki.
Bungsu juga manjat-manjat pohon beringin, dia sibuk menghitung akar gantung yang menjuntai ke bawah tidak ke atas, dia ada tugas dari guru PKN-nya, disuruh menyebutkan sila ketiga Pancasila yang berlambang pohon beringin, bukan berangan.
Harga kebun raya ternyata hanya 450M, segitu mah belum mahal menurutku, karena untuk supaya harta kami berkah, sebelum membayar kebun raya Greenland, Encum sedekahin harta Encum tiga kali lipat dari harga pulau kebun raya ini, alhamdulillah.
Kita harus banyak berbagi 'kan? Supaya berkah rezeki kita.

0 Response to "Beli Pulau Pribadi"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel