Suamiku Bocah SMA

 "Rendi ...!" teriakku kencang dari dalam kamar mandi. Keadaan begitu gelap. Lampu tiba-tiba padam. Bisa kutebak, ini pasti kelakuan bocah laki-laki usil itu lagi. Dia pasti sengaja memadamkan lampunya. Awas aja kalo ini benar perbuatannya. Tak unyel-unyel jadi perkedel, biar tau rasa.
Segera kuraih kimono handuk yang tersampir tak jauh dari tempatku berdiri, lalu memakainya. Meskipun tanpa penerangan, tapi aku tau letak gantungan yang biasa digunakan untuk menyampirkan handuk dan baju kotor.
Kuraba-raba dinding, berjalan mencari daun pintu. Sekian menit berada dalam kegelapan, akhirnya aku bisa bernapas lega. Pintu kamar mandi berada di hadapan. Segera kuputar knop.  
Kulihat saklar lampu yang terhubung ke kamar mandi tertutup. Berarti benar, ada yang menutupnya.
Dari tempatku berdiri,  sosok menyebalkan itu sedang duduk santai di bibir ranjang. Kedua kaki disilangkan dengan earphone terhubung di telinga. Matanya terpejam, tapi kepala manggut-manggut seperti sedang menikmati lagu yang didengarkan.

Nggak salah lagi. Pasti bocah itu pelakunya. Yang seperti ini, nih, harus diberi pelajaran. Tapi, pelajaran apa? Bukankah tiap hari dia mendapat pelajaran?
"Rendi!" seruku di depan pintu.
Nggak ada sahutan.
"Rendi!" Kunaikkan suara satu oktaf.
Dia masih tetap diam.
Bodoh. Mau teriak sekeras geledek pun, Rendi nggak akan denger. Orang kupingnya tertutup earphone.
Aku melangkah cepat, menghampirinya. Matanya terpejam, tapi kepala bergoyang. Tanpa berpikir panjang earphone yang terhubung ke telinga, kutarik ke belakang.
Dia tersentak. Menatapku kesal, lalu bangkit dari duduk silanya. "Ada apa, nih?"
"Ada apa ... ada apa. Jangan belaga polos deh. Kamu matiin lampu kamar mandi, 'kan?" seruku sambil berkacak pinggang,
"Gue? Matiin lampu? Sorry banget layau. Mbak pikir, gue gak ada kerjaan?" Telunjuknya teracung menunjuk dada sendiri.

Hemm ... mau ngeles rupanya.
"Siapa lagi kalo bukan kamu, Bocil? Dedemit?"
"Emang Mbak ada bukti? Atau saksi jika gue yang nglakuin? Jangan nuduh sembarangan deh, Mbak. Ini namanya fitnah. Kalo dipidanakan ada undang-undangnya lho. Yaitu pencemaran nama baik. Mbak, mau dilaporin?"
Asem tuh bocah. Pinter juga jawabnya. Tapi, aku yakin seribu persen kalo ini bukan fitnah. Dia kan emang biang keringat. Eh, biang masalah.
Huft ... seandainya ada saksi atau bukti. Tuh bocah pasti skak mat.
Pusing pala barbie. Baru juga tiga hari tinggal di sini. Tapi, kelakuan  bocah itu hampir meledakkan isi kepala.
Lama-lama kalo seperti ini terus, wajahku bisa cepet keriput. Ah, masih mending keriput. Kalo mati muda, gimana?
"Bocah nyebelin!" Aku mencebik. Menatap tajam manik hitamnya.
"Apa liat-liat! Emang gue pisang? Mbak tuh mony**t"
Tuh kan. Berani sekali dia ngatain aku.
Ya Allah.

Kenapa harus dia yang jadi jodohku, sih? Stok lelaki di dunia ini kan banyak. Kenapa harus dia?
Udah ngeselin, nyebelin, masih bau kencur pula. Aku yakin pipisnya juga belum lempeng.    
Huft ... Sabar, Ren. Tarik napas, embuskan perlahan.
Dasar bocah rese! Awas aja. Tunggu pembalasanku nanti.
***
"Ren, emang bener mulai hari ini kamu akan masuk kerja lagi?" Aku tersenyum kikuk mendapat pertanyaan dari papa mertua.
Sampai sekarang aku masih belum percaya, jika aku telah menjadi bagian dari keluarga Atmaja. Pemilik restoran tempatku bekerja.
Tiga pasang mata menatapku ingin tau dari tempat duduknya. Sambil mengunyah perlahan makanan yang masuk ke mulut. Berbeda sekali dengan remaja yang berseragam putih abu-abu di sampingku. Lahap banget makannya. Kayak nggak makan semingguan.  
"Iya, Om." Singkat, padat, jelas. Hanya itu yang bisa kukatakan. Sumpah. Aku masih kikuk plus grogi.
"Kok, Om? Saya itu mertua kamu. Panggil saya, Papa."
"Iya, Ren. Panggil kami mama papa. Kamu sekarang udah menjadi keluarga kita. Nggak usah sungkan gitu. Santuy," tambah Tante Mirna. Entah, aku masih bingung harus memanggilnya apa. Bu bos, Tante, atau Mama sesuai perintahnya.  
Ini semua gara-gara Rendi. Andai dia nggak datang ke kontrakanku malam itu. Pasti pernikahan ini nggak akan terjadi.
Tapi, ya udahlah. Nasi udah menjadi bubur. Tinggal tambahin sambel, kacang, suwiran ayam, kerupuk, dan kuah kuning. Disantap hangat-hangat di waktu hujan. Dijamin mantul.
Lha, kenapa jadi bahas makanan?
Aku meringis. Berhadapan dalam satu meja dengan mereka membuatku panas dingin. Otakku dipaksa bekerja untuk mencari alasan agar bisa menghindar dari kerumunan ini.  
"Maaf semua. Aku pamit ke atas dulu, ya. Mau beresin baju."
Lidahku kelu. Menyebut nama Mama dan Papa pun rasanya masih sulit.
Di dalam kamar aku mondar-mandir di depan lemari. Bingung mau ngapain. Baju-baju udah aku beresin dari kemaren. Mau berangkat kerja, masih pagi.

Suara derit pintu terbuka terdengar nyaring. Seseorang muncul di baliknya. Langkahnya tergesa memasuki kamar mandi. Kedua tangannya seperti meremas perut.
Kenapa bocil?
Iseng, aku mendekati pintu kamar mandi. Bersandar di baliknya dengan posisi menyamping. Satu telinga kutempelkan pada daun pintu.
Suara gemuruh panggilan alam terdengar saling menimpali dari dalam sana. Untung aja aku langsung membekap mulut. Kalo nggak, tawaku pasti menyembul keras.
Sukurin tuh. Mules-mules deh. Ini pasti tadi gara-gara sarapannya nggak inget porsi. Kena karmanya, 'kan?
Tiba-tiba aja sesuatu melintas dalam otak. Tadi kan dia udah ngerjain aku, sekarang saatnya memberi balasan.
Knop pintu kutekan sepelan mungkin agar nggak menimbulkan bunyi decitan. Setelah memutar benda logam bergerigi yang menggantung, aku langsung menariknya.
Bunyi air gemericik terdengar. Hajatnya pasti udah selesai. Aku masih di sini, di balik pintu.
Gagang pintu bergerak-gerak. Sekali ...
Dua kali ...
Tiga kali ...

"Woi ... siapa yang ngunci pintu?" teriaknya.
Aku masih diem.
"Mbak Rena, pasti Mbak kan yang ngunci?"
"Mbak, buka pintunya!"
"Buka pintu, Mbak! Ntar gue telat."
Makin lama teriakannya makin kencang. Sambil gedor-gedor pintu pula.
"Apa sih, Cil? Sakit kuping aku denger teriakan kamu."
"Buka pintunya, Mbak! Cepetan! Gue bisa telat."
"Bodo amat."
"Mbak Renaaa!"
Hihihi ... rasakan pembalasanku, Bocil. Makanya jangan macem-macem sama aku.

0 Response to "Suamiku Bocah SMA "

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel